Perekonomian Indonesia pada 2017 diperkirakan akan masih menjadi tahun yang menuntut ketangguhan, kecepatan, sekaligus keberanian bagi seluruh stakeholders. Utamanya dalam merespons berbagai ketidakpastian faktor eksternal, sekaligus menyiapkan langkah kebijakan antisipasi untuk memanfaatkan peluang yang relatif cukup besar.
"Konsesus terhadap proyeksi global memang lebih optimistis di tahun depan, namun disepakatinya bahwa faktor ketidakpastian juga akan semakin banyak," ujar Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini dalam diskusi Core Economic Outlook 2017 di JS Luwansa, Jakarta, Rabu (23/11/2016).
Di sisi lain, kata dia, harga komoditas yang akan sedikit membaik juga akan menjadi peluang di 2017. Terutama menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi lagi. Prediksi pertumbuhan ekonomi global 2017 membaik dibanding tahun ini, yakni mencapai 3,4%. Namun dibarengi dengan tren perdagangan global yang terus melambat, bahkan tahun ini merupakan tingkat pertumbuhan terendah sejak 2009.
"Di saat tren perdagangan melambat dan banyak negara mengalami penurunan pertumbuhan impor, tren pertumbuhan impor barang konsumsi rumah tangga Indonesia (Januari-Agustus 2016) justru meningkat. Perkembangan ini tentu penting untuk disiapkan kebijakan antisipasinya," katanya.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan kondisi ekonomi Indonesia pada 2017 akan berada dalam situasi pemulihan (recovery). Ini terlihat dari kondisi kebijakan fiskal yang sudah berjalan awal 2016, masih terus berada dalam tahap konsolidasi.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, konsolidasi fiskal diterapkan sejak pemerintah melihat pelemahan ekonomi akibat harga komoditas rendah dan membuat penerimaan pajak di bawah target. Supaya pengeluaran bisa dikendalikan, maka pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) ketika itu melakukan penyesuaian (adjustment) tehadap fiskal.
"Kalau 2017, adalah yang kami bilang kondisi recovery. Kalau enggak (konsolidasi fiskal), ya maka ada potensi pada waktu itu defisit lebih dari 3% dari PDB yang mana itu tidak boleh," ucapnya dalam diskusi Core Economic Outlook 2017 di JS Luwansa, Jakarta, Rabu (23/11/2016).
Sementara dari sisi kebijakan moneter, sepanjang 2016 angka-angkanya sudah dapat dikatakan membaik. Dengan berjalan baiknya fiskal, maka BI bisa menurunkan suku bunga beberapa kali. Untuk itu, Mirza menerangkan pada 2017 fiskal diperkirakan akan masih berada dalam tahap konsolidasi, bukannya ekspansi. Kemudian, kredit juga seharusnya sudah membaik dan bisa berjalan. Sebab, restrukturisasi kredit harusnya sudah mulai banyak yang selesai.
"Tahun 2016, banyak dana yang harus melakukan restrukturisasi, karena pada waktu harga komoditas drop, kemudian cost bergejolak, 2014-2015 pasti ada debitur yang alami masalah. Sehingga harus dilakukan restrukturisasi," tuturnya. "Jadi, 2017 selesai, fokus kepada ekspansi, dan dunia usaha juga kemudian lakukan ekspansi," katanya.
1. Rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate
Jika merujuk pada data pengangguran, maka kemungkinan The Fed menaikkan suku bunganya sangat tinggi. Sebab tingkat pengangguran di AS terus mengalami penurunan hingga mencapai 4,9%. Namun pada 2016 The Fed hanya sekali menaikan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,5% Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan tidak akan berhenti hingga akhir 2016.
The Fed diperkirakan akan terus menaikkan suku bunganya secara bertahap pada tahun 2017. Kenaikan suku bunga the Fed tentu akan membuat menguatnya dolar AS terhadap sejumlah mata uang dunia termasuk Rupiah. Hal tersebut tentu akan meningkatkan risiko bagi kegiatan ekonomi yang menggunakan transaksi dollar termasuk utang luar negeri yang akan terkena dampak dari kebijakan ini.
2. Terkait hasil pemilu AS yang memenangkan Donald Trump sebagai Presiden AS
Beberapa saat setelah hasil pemilu AS dipublikasikan, sejumlah mata uang negara-negara berkembang mengalami depresiasi yang cukup tajam. Hal itu lantaran kebijakan Trump yang dinilai akan memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian global.
Salah satu kebijakan yang sangat kontras dimana Trump mengutarakan niat untuk menggunakan pendekatan proteksionis dalam kebijakan perdagangannya. Hal ini tentu akan mempengaruhi kepastian pelaksanaan Trans Pacific Partnership (TPP) yang sudah dinegosiasi sejak 7 tahun lalu.
3. Dampak lanjutan dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Brexit
Sesaat setelah keputusan itu pasar keuangan global langsung mengalami guncangan. 5 bulan setelah Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa, pasar keuangan sudah mulai stabil. Akan tetapi beberapa bulan setelahnya pasar saham Inggris sudah kembali menunjukkan kinerja yang positif. Walaupun sudah kembali stabil, namun ujung dari keputusan Brexit masih belum pasti. Hal ini karena Inggris belum memutuskan bentuk Brexit. Apakah Inggris keluar dari Uni Eropa seutuhnya (Hard Brexit) atau keluar dari Uni Eropa tetapi masih mempertahankan sejumlah akses ke ekonomi Uni Eropa (Soft Brexit).
Jika Inggris memutuskan untuk memilih Hard Brexit, maka Inggris menyerahkan akses terhadap pasar tunggal dan custom union. Sebagai gantinya, Inggris akan menggunakan kesepakatan dengan World Trade Organization (WTO) dalam melakukan hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Sebaliknya, keputusan Soft Brexit berarti Inggris tidak akan memiliki kekuatan politik di Uni Eropa di mana tidak ada perwakilan dari Inggris di Parlemen Uni Eropa dan Perdana Menteri Inggris tidak dapat mengikuti pertemuan kepala negara Uni Eropa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (23/11/2016), saat ini perdagangan global hanya tumbuh 1,5% sampai 2%. Akibatnya, banyak negara yang tidak miliki tujuan ekspor.
"Negara penghasil komoditas mereka mengalami pertumbuhan negatif tahun lalu. Kalau dilihat banyak yang tumbuh negatif pada kuartal III-2016. Amerika harus dilihat, 2008 kena krisis. AS adalah yang paling cepat tumbuh. Tapi saat ini hanya 1,5%. Ini tantangan," tegasnya.
Sri Mulyani meminta Indonesia tidak pesimistis terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 mendatang. "Ekonomi RRT 6,9% jadi 6,7%. Itu memiliki implikasi bagi pelemahan. Tapi kita tidak ingin katakan bahwa kita pesimis," jelasnya.
Tantangan ini dapat dinikmati oleh pemerintah sebagus suatu hal untuk memperbaiki diri. Dengan begitu, maka tantangan ini justru dapat memberikan suatu kenikmatan bagi yang menghadapinya. "Kita harus melihat tantangan menjadi opportunity. Orang Indonesia adalah orang yang hebat. Challenge membuat adrenalin tinggi dan itu kenikmatan yang luar biasa," katanya.
loading...
0 Response to "Tantangan Ekonomi Indonesia di 2017"
Posting Komentar