Kisah ini betul - betul membuat saya menitikkan air mata membacanya. Betapa kecintaannya kepada Rasulullah tidak memperdulikan kondisi diri sendiri. Hidup mulia atau mati syahid. Itu pilihannya. Dengan gigih bertempur membela Rasulullah menumpas kaum kafir kala itu. Silahkan baca kisah Nusaibah ini, in sya Allah menambah iman.
Jangan Halangi Aku Membela Rasulullah. Teriakannya
Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah menebak, itu pasti tentara musuh.
Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.
Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar.
Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya.
“Suamiku tersayang,” Nusaibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”
Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang.
Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terpengaruh derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk.
Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said saja.
Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup. “Ibu, ada salam dari Rasulullah,” beliau berkata "si penunggang kuda, suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nasibah tertunduk sebentar, “ Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, Ya Alloh.”
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar.
Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kau lihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan bagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia? ”Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.“
Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.
”Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Alloh.”
Putra Nusaibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya.
Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rosululloh, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rosululloh dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Alloh memberkatimu…. ”Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung berlangsung sampai sore hari.
Pagi-pagi seorang utusan Pasukan Islam berangkat dari perkemahan mereka menuju ke rumah Nusaibah. Setibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis. “Kau berduka, ya Ummu Amar? ”Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan ku berangkatan? Saad masih kanak-kanak. ”Mendengar itu, Sa'ad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela,
“Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Sa'ad adalah putra seorang ayah yang gagah berani. ”Nusaibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?” Sa'ad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Sa'ad hilang bersama utusan itu.
Di arena pertempuran, Sa'ad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Sa'ad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allohu Akbar!” Kembali Rosululloh memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.
Mendengar berita kematian itu, Nasabah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu kemedan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, wahai Ibu….”
Nuaibah tersinggung,
“Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rosululloh dengan kuda yang ada.
Tiba di sana, Rosululloh mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rosululloh pun berkata dengan senyum.
“Nusaibah yang dimuliakan Alloh. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur. ”
Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Di rawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat.
Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia menengok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir. Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh.
Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi.Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Peperangan terus saja berjalan.
Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nusaibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud mengendarai kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya.
Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”
Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rosululloh? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
Jawab Ibn Mas'ud.
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran.
Banyak musuh yang dimungkinkan balikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir.
Darahnya membawahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.
Itulah kisah Nusaibah sang wanita pembela Rasulullah dalam perang melawan kaum kafir. Semoga menambah iman kita. Hidup mulia atau mati syahid
Jangan Halangi Aku Membela Rasulullah. Teriakannya
Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah menebak, itu pasti tentara musuh.
Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.
Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar.
Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya.
“Suamiku tersayang,” Nusaibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”
Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang.
Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terpengaruh derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk.
Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said saja.
Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup. “Ibu, ada salam dari Rasulullah,” beliau berkata "si penunggang kuda, suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nasibah tertunduk sebentar, “ Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, Ya Alloh.”
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar.
Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kau lihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan bagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia? ”Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.“
Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.
”Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Alloh.”
Putra Nusaibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya.
Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rosululloh, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rosululloh dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Alloh memberkatimu…. ”Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung berlangsung sampai sore hari.
Pagi-pagi seorang utusan Pasukan Islam berangkat dari perkemahan mereka menuju ke rumah Nusaibah. Setibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis. “Kau berduka, ya Ummu Amar? ”Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan ku berangkatan? Saad masih kanak-kanak. ”Mendengar itu, Sa'ad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela,
“Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Sa'ad adalah putra seorang ayah yang gagah berani. ”Nusaibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?” Sa'ad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Sa'ad hilang bersama utusan itu.
Di arena pertempuran, Sa'ad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Sa'ad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allohu Akbar!” Kembali Rosululloh memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.
Mendengar berita kematian itu, Nasabah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu kemedan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, wahai Ibu….”
Nuaibah tersinggung,
“Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rosululloh dengan kuda yang ada.
Tiba di sana, Rosululloh mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rosululloh pun berkata dengan senyum.
“Nusaibah yang dimuliakan Alloh. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur. ”
Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Di rawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat.
Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia menengok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir. Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh.
Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi.Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Peperangan terus saja berjalan.
Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nusaibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud mengendarai kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya.
Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”
Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rosululloh? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
Jawab Ibn Mas'ud.
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran.
Banyak musuh yang dimungkinkan balikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir.
Darahnya membawahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.
Rosululloh kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa".
Itulah kisah Nusaibah sang wanita pembela Rasulullah dalam perang melawan kaum kafir. Semoga menambah iman kita. Hidup mulia atau mati syahid
loading...
0 Response to "Hidup mulia atau mati syahid - Kisah Nusaibah pejuang wanita bak singa betina"
Posting Komentar